Rabu, 29 September 2010
Skoliosis, Keluarga, dan Rasa Syukurku
Sabtu, 25 September 2010
My Surgery
Senin 16 Agustus 2010
“Mbak Dini diambil darahnya dulu ya...”
Hari itu adalah hari2 persiapan menuju sebuah gerbang usaha seorang gadis lemah yg masih manja. Persiapan2 yg dilakukan untuk ‘eksekusi’ tulang belakangku esok hari. Bahkan sebuah selang infus telah menusuk tangan kananku. Agak deg2an juga .... hati ini engga bisa tenang.
“Allah, siapkah aku?”
Ramadhan. Selasa 17 Agustus 2010
Selamat Ulang Tahun Indonesiaku tersayang.... :*
Hari ini tim dokter akan melakukan upacara. Di mana? Tepat di dalam punggungku. Ayo bonbon.... kamu akan di-make over . hehe
Senang...karena Allah telah membuka jalan bagi hambanya yg telah berdoa meminta jalan keluar.
Sedih...karena aku gag bakal tahu apa yg akan terjadi.
Sekali lagi, “Allah...siapkah aku?”
Pagi ini berat badanku dicek. Wow... beratku turun. Dari 50 jadi 48 . hem.....kamu stress ya Din.. Tinggiku kala itu 166 cm (aku inget betul) , kemudian dilanjutkan dengan rekam jantung dan tekanan darah. Ternyata aku cukup sehat :)
Setelah itu aku balik ke kamar. Tiduran..gelisah. Duduk..disuruh tidur. Kebelet pipis...saking groginya. Abis dari WC, eh tau2 ada perawat cowok yg jemput , katanya sih mau rontgen toraks. Yawda deh... aku ngikut.
“Eh sebentar Mbak, saya ambilkan kursi roda dulu.”
Weleh?? Kedua kakiku masih bisa berjalan. Punggungku pun masih kuat. Kenapa disuruh pake kursi roda sih? Tanyaku dalam hati.
“Ini Mbak, biar gak capek.”
Oalaaa.....biar aku gak capek. Yasudah...oke sajalah. Aku duduk sambil memangku cairan infus, menuju ruang radiologi yg letaknya tak jauh dari ruang Atlas, tempatku menjalani rawat inap. Beberapa jam kemudian, suster2 itu kembali menjemputku.
“Ditunggu dr. Iman dan dr.Subhan di ruang praktek ya mbak Dini..”
“Ngapain sus?
“Mau foto..”
Weink...ternyata aku disuruh foto klinis tanpa baju bagian atas. Agak malu juga sih. Jepret...jepretttt beberapa jepretan foto ‘porno’ ku telah diabadikan. Foto ini yg nantinya bakal dijadiin dokumentasi, dan tentunya kenangan akan bentukmu yg lama, Bonbon..
Benda bulat berkaki tiga yg menempel di dinding menunjukkan sekitar pukul 12 siang. 2 jam lagi menuju saat2 mendebarkan dalam hidupku.
1 jam terlewati... sodara2 dari Bapak uda pada ngumpul di sekelilingku. Entah mengapa muka mereka teduh semua. Haru. Akupun menelpon sana-sini, ke kedua kakakku, juga sodara2 yg ada di Malang.
“Dini..yg kuat ya. Apapun yg akan terjadi, pasrahlah. Kita hanya hamba yg lemah...Ingatlah Allah selalu ada dan menjaga kita...Laa ilaaahaila anta, subhanaka, inni kuntu minadzalimin....” itulah yg selalu diajarkan Bapak dan Omku.
Pukul 1 lebih 45 menit...suster Prima, suster Endang dan suster Tutut uda siap2 menjemputku menuju ruang operasi yg jaraknya hanya beberapa langkah dari kamarku. Sesampainya di depan ruang operasi, sempetin berdoa dulu.. Hanya Allah yg Maha Tahu, Dialah yg menguasai segalanya. Setelah berdoa, aku toss dulu sama Dina, salaman dan dicium oleh kedua ortu dan sodara2. Akhirnya ...pintu ditutup.
Allah..aku bahagia hari ini. Kau telah memberi hamba petunjuk. Ku mohon mudahkanlah jalanku, dan mereka yg menanganiku. Lancarkanlah semuanya. Jangan sampai semua ini gagal. Betapa hancurnya hati Bapak dan Ibu jika hal yg tak mereka inginkan bakal terjadi. Aku tak ingin meninggal di meja operasi, dan jika itu terjadi, tutuplah hidupku dengan khusnul khotimah. Aku belum sempat membahagiakan kedua orang tuaku, ampunilah dosa2ku. Yang aku inginkan adalah melihat orang2 yg menyayangiku tersenyum bahagia Ya Allah....aminn.
“Disuntik dulu ya Mbak Dini..”
Aku masih melihat dengan jelas, Bu Kokom, telah menyuntikkan obat bius di infusku. Beberapa saat kemudian...aku merasakan pusing puyengg nyengggg.... lalu...terpejam.
...
...
...
“Dini....Dini uda dioperasi...Dini uda dioperasi...”
Suara itu...suara Bude.
“Laa ilaaahaila anta, subhanaka, inni kuntu minadzalimin. Astaghfirullah...Allahu Akbar.”
Dan itu suara Om....
Suara2 itu...Aku juga mendengar suara bapak, suster2, dan entah siapa saja yg berbicara, ramaiii sekali.. sepertinya baru 5 detik yg lalu aku terpejam. Aku kira ini masih jam 2 siang. Ternyata aku salah, sekarang sudah pukul 7 malam, 5 jam operasi besar telah aku lalui. Dokter menyatakan operasiku sukses, bahkan lebih sukses daripada operasi Dina. Alhamdulillah... sepertinya tadi aku tidak bermimpi apa2, dan tidak tertidur bahkan. Cepat sekali.
Aku menggigil kedinginan, badanku bergetar semua, rasanya ada yg mengganjal di punggungku. Kaku sekali. Spontan aku gerakkan kedua kakiku. Semuanya normal. Alhamdulillah... aku tidak lumpuh Ya Allah. Tenggorokan ini rasanya hausssss sekali. Pengaruh bius total di tubuhku membuatku pusing 7 keliling.
Dibawalah aku ke ruang radiologi. Tubuhku dirontgen untuk mengetahui apakah ada kesalahan pemasangan implant di tubuhku, serta mengetahui berapa derajat koreksi skoliosisku.
Rabu 18 Agustus 2010
Jam menunjukkan pukul 3 pagi. Aku liat bapak sama ibu lagi sahur. Aku dan Dina diletakkan dalam ruang perawatan yg sama. Dina juga uda bangun. Aku belum merasakan sakit apapun. Mungkin karena pengaruh bius yg belum hilang. Cara bicaraku sudah teratur, tidak nglindur. Aku bercerita pada bapak ibu, td di ruang operasi aku sempat mengintip meja berwarna hijau dan lampu operasi yg menyala terang menyilaukan.
Hari berganti hari, pengaruh bius di tubuhku telah hilang. Aku merasakan sakit yg sesungguhnya. Tiap malam menangis, tak kuasa menahan perih dan ngilu di tulang2ku. Rusuk2ku seperti bergerak ingin loncat dari tempatnya. Otot2ku kaku. Tiap jam 12 malam aku terbangun dari tidurku, dan gag bisa tidur lagi. Keringat dingin mengalir dengan derasnya. Kakiku tidak nyaman dalam posisi apapun. Aku amat tersiksa. Setan2 di dalam hati pun ikut meracuni pikiranku. Bacaan2 ayat2 suci yg semula kuucapkan berubah menjadi keluhan. Mengapa kau tak mengambil nyawaku saja Ya Allah? Daripada aku tersiksa menahan penderitaan ini? Aku benar2 tidak kuat, aku menyerah, cukup sudah Ya Allah... cukup sudah. Aku tak ingin merepotkan siapapun. Ambil saja nyawaku Ya Allah...Astaghfirullah.. aku benar2 labil.
Bapak yg sepertinya amat sedih melihatku, selalu berada di samping tempat tidurku. Meskipun aku selalu membangunkan tidurnya, tetapi ia dengan ikhlas menemaniku. Memegang tanganku, dan membacakan doa untukku.
...
Tiba saatnya pemulihan. Belajar miring kanan kiri, duduk, berdiri, dan berjalan. Hal yg dulu amat mudah kulakukan, kini sangatlah sulit. Aku bagaikan bayi yg baru saja belajar mengenal dunia. Bayi tua tepatnya, hehe. Namun bertahap aku bisa melakukannya.
ket : masa2 recovery, disuruh belajar berjalan dan latihan2 lainnya untuk melemaskan otot.
Syukur Alhamdulillah..tak henti2nya aku bersyukur padamu Ya Rab. 25 Agustus 2010 aku sudah diperbolehkan pulang. Walaupun jalanku masih seperti robot, dokter mengijinkan pulang dan memberi obat2 yg harus aku minum.
Terima Kasih Ya Allah, aku tahu Engkaulah Yg Maha Pengasih kpd setiap makhlukMu. Terima kasih Bapak Ibu kalian malaikatku yg selalu ada menjaga dan menyayangiku. Makasi sodara2ku, teman2ku, guru2ku, pacar, dan semua yg slalu kasih semangat dan doa. Untuk dr. Syaifullah Asmiragani, SpOT, Spine terima kasih atas info dan semangatnya, kini kami sadar bahwa di balik kelemahan pasti Allah menciptakan kemudahan dan kelebihan. Terima kasih aku ucapkan kepada dr. Iman Solichin, SpOT, Spine ; dr. Subhan ; dr. Yudhi Gumelar, SpOT ; dr.Hermin ; suster2 ; mbak peni ; mas dewan dan pihak2 Rumah Sakit Orthopaedi Purwokerto (RSOP) yg setia merawat dan menangani saya dan Dina. Mbak Paramitha Nilamsari beserta keluarga dan teman2 Masyarakat Skoliosis Indonesia, mungkin bila tak ada kalian, aku tak akan seberani ini. Dan untuk semua insan di dunia, kekurangan yang kita milikki dapat menjadi kelebihan, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Jangan berharap mengganti hidupmu dengan hidup yg lain. Karena hidup kita adalah sebuah anugerah terindah dariNya. Go scolioser goooooo!!!